BMKG : waktu yang di prakirakan jika TSUNAMI 20 meter benar - benar terjadi
BMKG - Daryono menegaskan |
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi & Tsunami BMKG Daryono mengatakan, meskipun kajian ini ilmiah dan permodelan dapat menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust, namun pada kenyataannya sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi secara tepat dan akurat kapan dan dimana gempa akan terjadi.
Daryono menegaskan, dalam situasi ketidakpastian ini, maka yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah konkret untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa. Menuru dia, informasi potensi gempa kuat di zona megathrust seperti ini memang rentan memicu keresahan akibat salah pengertian.
"Masyarakat lebih tertarik membahas kemungkinan dampak buruknya daripada pesan mitigasi yang mestinya harus dilakukan," kata Daryono dalam siaran pers BMKG, Minggu (27/9/2020).
"Masyarakat lebih tertarik membahas kemungkinan dampak buruknya daripada pesan mitigasi yang mestinya harus dilakukan," kata Daryono dalam siaran pers BMKG, Minggu (27/9/2020).
Kecemasan publik akibat informasi potensi gempa megathrust selatan Jawa muncul akibat salah paham. Para ahli, menurut Daryono, menciptakan model potensi bencana, yang tujuannya untuk acuan mitigasi. Tetapi masyarakat memahaminya seolah akan terjadi bencana besar dalam waktu dekat.
"Masalah komunikasi sains harus diperbaiki," ujar Daryono.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan BMKG mengapresiasi hasil riset yang dilakukan para ahli dari ITB tersebut. Mengenai ancaman ini belum ada yang bisa memprediksi secara tepat apakah bakal terjadi atau tidak dan kapan bakal terjadi. Namun pihaknya membenarkan tentang adanya potensi tersebut.
"Kami apresiasi hasil riset tersebut. Para peneliti mengedukasi perihal adanya ancaman kepada masyarakat. Ancaman itu terjadi atau tidak, belum ada yang bisa memprediksi secara tepat kapan terjadinya," ujar Rahmat.
"Masalah komunikasi sains harus diperbaiki," ujar Daryono.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan BMKG mengapresiasi hasil riset yang dilakukan para ahli dari ITB tersebut. Mengenai ancaman ini belum ada yang bisa memprediksi secara tepat apakah bakal terjadi atau tidak dan kapan bakal terjadi. Namun pihaknya membenarkan tentang adanya potensi tersebut.
"Kami apresiasi hasil riset tersebut. Para peneliti mengedukasi perihal adanya ancaman kepada masyarakat. Ancaman itu terjadi atau tidak, belum ada yang bisa memprediksi secara tepat kapan terjadinya," ujar Rahmat.
Dia mengatakan potensi gempa magnitudo (M) 9,1 yang dapat memicu tsunami hingga 20 meter sebagaimana dimodelkan oleh ITB merupakan skenario terburuk, dari zona gempa megathrust. Menurut Rahmat, skenario terburuk adalah menjadi skenario terbaik dalam upaya memitigasi.
"Jangan sampai mitigasi yang disiapkan berdasarkan skenario dengan potensi ancaman paling kecil. Justru nanti malah tidak siap jika skenario terburuk benar-benar terjadi," katanya.
Dia menegaskan jika potensi gempa bumi yang bisa memicu tsunami dari zona megathrust ini bukan hanya di Selatan Jawa namun di seluruh zona megathrust dari Barat Sumatera hingga Selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
"Bahkan pada daerah Subduksi Banda, Subduksi Lempeng Laut Maluku, Subduksi Sulawesi, Subduksi Lempeng Laut Filipina dan Subduksi Utara Papua," ujar Rahmat.
"Jangan sampai mitigasi yang disiapkan berdasarkan skenario dengan potensi ancaman paling kecil. Justru nanti malah tidak siap jika skenario terburuk benar-benar terjadi," katanya.
Dia menegaskan jika potensi gempa bumi yang bisa memicu tsunami dari zona megathrust ini bukan hanya di Selatan Jawa namun di seluruh zona megathrust dari Barat Sumatera hingga Selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
"Bahkan pada daerah Subduksi Banda, Subduksi Lempeng Laut Maluku, Subduksi Sulawesi, Subduksi Lempeng Laut Filipina dan Subduksi Utara Papua," ujar Rahmat.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Sabtu (26/9/2020), Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengonfirmasi riset itu dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) dan turut melibatkan peneliti BKMG, yaitu Dr. Pepen Supendi, terutama dalam pengolahan data dan analisis seismisitas.
Dwikorita juga, menjelaskan riset yang dilakukan merupakan multidisiplin data, ilmu, dan lintas instansi untuk mengkaji potensi gempa bumi terjadi di zona seismic gap pada sumber gempa megathrust selatan Jawa. Selain itu, riset pun memodelkan dampak gempa bumi megathrust tersebut berupa ketinggian gelombang tsunami di pantai selatan Jawa.
"Jadi pada area seismic gap di zona sumber gempa megathrust ini dijadikan sebagai input dalam pemodelan tsunami dengan menggunakan beberapa skenario," kata Dwikorita.
Dwikorita juga, menjelaskan riset yang dilakukan merupakan multidisiplin data, ilmu, dan lintas instansi untuk mengkaji potensi gempa bumi terjadi di zona seismic gap pada sumber gempa megathrust selatan Jawa. Selain itu, riset pun memodelkan dampak gempa bumi megathrust tersebut berupa ketinggian gelombang tsunami di pantai selatan Jawa.
"Jadi pada area seismic gap di zona sumber gempa megathrust ini dijadikan sebagai input dalam pemodelan tsunami dengan menggunakan beberapa skenario," kata Dwikorita.
Skenario pertama, jika hanya segmen megathrust selatan Jawa Barat saja yang pecah. Skenario 2, jika hanya segmen megathrust selatan Jawa Timur saja yang pecah.
Lalu skenario terburuknya jika kedua segmen ini pecah bersamaan bisa menghasilkan gempa dengan magnitudo M 9,1. Berdasarkan pemodelan tersebut dapat menyebabkan tsunami dengan ketinggian maksimum 20 meter di selatan Jawa bagian Barat (lebih tepatnya di selatan Banten) dan 12 meter di selatan Jawa Timur, dengan ketinggian tsunami rata-rata 4,5 meter.
"Dari hasil riset tersebut waktu datangnya gelombang tsunami sekitar 20 menit," ujar eks rektor Universitas Gadjah Mada.
Dalam kesempatan itu, Dwikorita mengatakan, Indonesia sudah siap menghadapi potensi megathrust sejak 2008. BMKG telah mengoperasikan Sistem Monitoring dan Peringatan Dini Tsunami untuk mengantisipasi dampak gempa bumi megathrust seperti yang pernah terjadi di Aceh. Kala itu, waktu tiba gelombang tsunami ke pantai terdekat kurang lebih 20 menit.
"Sistem yang dibangun tersebut dioperasikan dengan menggunakan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligent (AI) untuk menghitung secara cepat parameter gempa bumi, magnitudo dan lokasi hiposenter gempa bumi, yang kemudian secara otomatis dengan pemodelan matematis dapat dihitung (diestimasi) potensi kejadian tsunaminya," kata Dwikorita.
Lalu skenario terburuknya jika kedua segmen ini pecah bersamaan bisa menghasilkan gempa dengan magnitudo M 9,1. Berdasarkan pemodelan tersebut dapat menyebabkan tsunami dengan ketinggian maksimum 20 meter di selatan Jawa bagian Barat (lebih tepatnya di selatan Banten) dan 12 meter di selatan Jawa Timur, dengan ketinggian tsunami rata-rata 4,5 meter.
"Dari hasil riset tersebut waktu datangnya gelombang tsunami sekitar 20 menit," ujar eks rektor Universitas Gadjah Mada.
Dalam kesempatan itu, Dwikorita mengatakan, Indonesia sudah siap menghadapi potensi megathrust sejak 2008. BMKG telah mengoperasikan Sistem Monitoring dan Peringatan Dini Tsunami untuk mengantisipasi dampak gempa bumi megathrust seperti yang pernah terjadi di Aceh. Kala itu, waktu tiba gelombang tsunami ke pantai terdekat kurang lebih 20 menit.
"Sistem yang dibangun tersebut dioperasikan dengan menggunakan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligent (AI) untuk menghitung secara cepat parameter gempa bumi, magnitudo dan lokasi hiposenter gempa bumi, yang kemudian secara otomatis dengan pemodelan matematis dapat dihitung (diestimasi) potensi kejadian tsunaminya," kata Dwikorita.
Dengan begitu, lanjut dia, dapat disebarluaskan secara otomatis Info kejadian gempa bumi dan peringatan dini tsunami melalui BNPB, BPBD, Televisi, dan berbagai moda diseminasi informasi lainnya SMS, telepon atau fax, media sosial, aplikasi info BMKG. Rentang waktunya 3-5 menit setelah gempa terjadi.
"Artinya, masih tersisa waktu sekitar 15-17 menit sebelum perkiraan datangnya gelombang tsunami untuk evakuasi," ujar dia.
Meski demikian, Dwikorita menegaskan, riset dan sistem peringatan dini tersebut belum cukup untuk benar-benar melindungi masyarakat dari ancaman bahaya tsunami. Harus tetap ada kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah dalam merespons peringatan dini tersebut secara cepat dan tepat, bahkan dalam menyiapkan sarana prasarana evakuasi.
"Artinya, masih tersisa waktu sekitar 15-17 menit sebelum perkiraan datangnya gelombang tsunami untuk evakuasi," ujar dia.
Meski demikian, Dwikorita menegaskan, riset dan sistem peringatan dini tersebut belum cukup untuk benar-benar melindungi masyarakat dari ancaman bahaya tsunami. Harus tetap ada kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah dalam merespons peringatan dini tersebut secara cepat dan tepat, bahkan dalam menyiapkan sarana prasarana evakuasi.
Selain itu, masyarakat harus terus diedukasi supaya semakin aware terhadap bahaya gempa dan tsunami yang ada di wilayahnya," kata dia.
Comments
Post a Comment